Lihat foto ini sebentar. Sekilas, mungkin cuma kelihatan kayak foto standar edisi Natal buat di-upload ke story. Ada aku, 21 tahun, pakai kemeja hijau sage warna yang lagi ngetren belakangan ini berdiri kaku di depan hiasan dinding yang ramai. Di belakangku ada balon foil merah menyala tulisan "MERRY CHRISTMAS", ada rumbai-rumbai perak yang ditempel manual pakai selotip, dan pohon Natal mini dari kertas karton hijau di sebelah kiri. Tanganku ditangkupkan di dada, pose "salam" standar, atau mungkin cuma gaya sopan karena bingung mau naruh tangan di mana.
Tapi, di balik senyum tipis di foto itu, kalau kamu perhatikan baik-baik, tatapanku itu kosong.
Hari itu, pas foto ini diambil, aku baru sadar kalau aku sudah 21 tahun. Dua puluh satu. Angka yang katanya sakral buat sebagian orang. Gerbang menuju dunia orang dewasa yang sesungguhnya. Tapi anehnya, di detik shutter kamera teman aku bunyi "klik", yang aku rasain justru perasaan sepi yang asing menonjok ulu hati. Bukan sepi karena sendirian di ruangan. Banyak orang ketawa, banyak suara musik Jingle Bells diputar dari speaker portable yang bass-nya agak pecah. Sepinya itu ada di dalam.
Sambil nunggu giliran foto, aku ngeliatin orang-orang di sekitarku. Ada teman yang lagi ditarik ibunya buat foto bareng sambil dirapikan kerahnya, ada bapak-bapak yang gendong putrinya supaya bisa nyentuh balon di dinding, ada kakak-adik yang rebutan kue. Mereka berisik, ribet, tapi hangat.
Dan di situlah "bom" itu meledak di kepalaku.
Aku sadar, selama 21 tahun napas di bumi, aku nggak pernah ngerasain apa yang mereka lakuin itu. Aku nggak pernah punya memori tentang Natal bersama apa yang orang sebut "Sebuah Keluarga".
Maksudku, "Keluarga" dalam arti sebenarnya, ya. Bukan sekadar orang-orang yang namanya tercantum di Kartu Keluarga-ku. Kalau soal legalitas sih, aku juga tidak punya Ayah aku hanya punya seorang Ibu saja tetapi itu disaat saya sudah mengenal bagaimana cara mendapatkan uang sendiri. Kami tinggal satu atap, satu alamat. Tapi rasanya... rasanya kayak kami cuma sekumpulan orang asing yang kebetulan nyewa kamar di kos-kosan yang sama. Masing-masing jalan sendiri, masing-masing punya tembok sendiri.
Aku coba gali ingatan masa kecilku, mumpung lagi melamun di depan backdrop ini. Apa pernah kami hias pohon Natal bareng? Nggak. Apa pernah kami tukar kado terus ketawa-ketiwi sampai perut sakit di ruang tengah? Nggak pernah. Yang aku ingat soal Natal di rumahku cuma dua skenario, kalau nggak sunyi senyap karena orang tua sibuk di kamar masing-masing, ya suara bentakan atau debat panas yang bikin aku pengen pasang earphone kenceng-kenceng. Rumahku itu cuma bangunan fisik dari bata dan semen, bukan tempat pulang.
Makanya, pas berdiri di depan hiasan "Merry Christmas" yang meriah ini, rasanya ironis banget. Di luar aku kelihatan rapi, bersih, pakai baju bagus, seolah-olah ikut merayakan sukacita. Tapi hatiku rasanya kayak penonton bayaran. Aku cuma nonton kebahagiaan orang lain, tapi nggak pernah jadi pemeran utamanya. Aku cuma tamu di perayaan hangat milik orang lain.
Dulu waktu masih belasan tahun, aku jago banget bohongin diri sendiri. Aku bisa kabur main game, nongkrong sama teman sampai pagi biar nggak perlu ngerasain dinginnya rumah. Aku bisa bilang "Ah, males acara keluarga, mending tidur." Tapi di umur 21 ini, pelarian itu rasanya udah basi. Kedewasaan memaksaku buat jujur. Jujur aja, aku iri. Aku cemburu.
Aku pengen ngerasain ditanyain "gimana pestanya tadi, Nak?" pas pulang ke rumah. Aku pengen ngerasain hangatnya duduk satu meja makan tanpa ada ketegangan, tanpa takut salah ngomong sedikit langsung jadi perang dunia.
Tapi ya sudahlah. Lihat lagi foto itu. Aku berdiri tegak, kan?
Meski sendirian, meski hatinya agak ngilu, aku tetap berdiri di situ. Mungkin ini jatahku sekarang. Mungkin tugasku bukan lagi mengharapkan kehangatan dari masa lalu yang emang nggak pernah ada, tapi menerima kenyataan ini. Bahwa aku, 21 tahun, harus jadi orang tua buat diriku sendiri.
Foto ini bakal jadi saksi bisu. Bahwa di usia segini, aku akhirnya ngaku kalau aku terluka. Dan nggak apa-apa. Nggak apa-apa merasa sepi di tengah keramaian pesta. Paling enggak, aku janji satu hal sama cowok di foto itu, kalau suatu hari nanti aku dikasih kesempatan punya keluarga sendiri, aku bersumpah nggak bakal ada anak laki-laki lain yang ngerasain apa yang aku rasain sekarang. Cukup aku aja yang fotonya sendirian dengan tatapan kosong kayak gini.
Cukup aku. Selamat Natal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar